Selamat Datang di Situs Info Seputar Pendidikan
Showing posts with label Profesionalitas Guru. Show all posts
Showing posts with label Profesionalitas Guru. Show all posts

Wednesday, September 16, 2020

MEDIA SOSIAL: PORFESIONALITAS DAN KOMPETENSI GURU DALAM MENJAGA FITRAH ANAK

 

MEDIA SOSIAL: PORFESIONALITAS DAN KOMPETENSI GURU DALAM MENJAGA FITRAH ANAK

                                                           

Zainuddin

 

Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD), STIT Al-Qur’an Al-Ittifaqiah (STITQI) Ogan Ilir Sumatera Selatan

 

Email: z.nudien1@gmail.com

 

Abstrak

 

Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia. Dimana profesionalisme guru sangat erat kaitannya dengan kompetensi yang dimiliki. Jika kita beranggapan bahwa setiap anak adalah istimewa dan cerdas, maka kita juga harus percaya bahwa tidak ada guru yang tidak bisa mengajar. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila guru harus terus belajar agar tidak tertinggal dengan kemajuan zaman. Maka tulisan ini akan mengkaji bagaimana peran guru di era globalisasi ini dalam menghadapi gempuran dari pada peran Media Sosial yang telah menjadi hegemoni bagi perilaku anak didik, terutama pada masa-masa usia golden age. Masa dimana tumbuh kembang anak harus menjadi perhatian serius dari guru dan orang tua, agar nantinya anak menjadi agen dan penjaga tradisi dengan nilai-nilai moralitas, akhlak dan spiritual.

 

Kata Kunci: Anak Didik, Guru, Kompetensi, Profesionalisme, dan Media Sosial

 

| I’TIBAR: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini

     Vol. 4, No. 1 (halaman: 100-112)

 STIT AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH (STITQI) OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

 

Abstract

 

Teacher is a very noble profession. Where the professionalism of teachers is very closely related to their competencies. If we assume that every child is special and intelligent, then we must also believe that there is no teacher who cannot teach. Therefore, it is only natural that the teacher must continue to learn so as not to lag behind the progress of the times. So this paper will examine how the role of teachers in this era of globalization in dealing with the onslaught of the role of Social Media which has become a hegemony for the behavior of students, especially during the golden age. The period in which the child's growth and development should be a serious concern of teachers and parents, so that later children become agents and keepers of traditions with moral, moral and spiritual values.

 

Keywords: Students, Teachers, Competence, Professionalism, and Social Media

 

A.      PENDAHULUAN

Sebagai seorang guru, tidak jarang kita lalai dalam memperhatikan tentang sosok anak-anak didik kita untuk direnungi dan diperhatikan keberadaannya secara lebih mendalam. Kita sebagai seorang guru sudah menjadi kewajiban memberikan perhatian lebih kepada anak didik kita, tentang siapa sosok mereka dan untuk apa mereka ada disini (sekolah). Patut untuk diketahui bahwa seorang anak terdiri dari dua dimensi. Yakni dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua dimensi tersebut harus menjadi perhatian bagi seorang guru agar kebutuhan anak dapat terpenuhi. Kebanyakan dari guru terjebak dalam memperhatikan perkembangan anak didik mereka yang cenderung hanya memperhatikan satu dimensi saja, yakni dimensi jasmani dan mengabaikan dimensi ruhani yang cenderung abstrak.

Peran dan tanggung jawab guru bukanlah perkara yang mudah, terutama ketika dihadapkan pada proses pembelajaran yang menjadi tanggujawabnya. Hal ini dikarenakan bahwa anak usia dini (4 - 6 tahun) memiliki potensi dan keistimewaannya sendiri, sehingga peran guru menjadi sangat penting untuk membantu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki sehingga dapat menjadi anak-anak yang berprestasi dan berkarakter Islami. Menurut Benjamin S. Bloom menyatakan bahwa pada saat anak berusia (0 – 4 empat) tahun, seluruh potensi intelektualnya sudah terbentuk, sehingga pada usia ini apabila seorang anak tidak mendapat penanganan yang tepat, teruatama dalam mendapat rangsangan otak yang tepat, maka pada kelanjutannya kinerja otak anak tidak dapat lagi bekerja dengan maksimal.[1] Tak salah apabila anak pada usia ini seringkali disebut sebagai usia keemasan atau golden age.

            Ada banyak hal penting yang bisa dilakukan gruru dalam membangun dan merancang pembelajaran yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan anak. Salah satunya adalah bagaimana kita membangun paradigma atau pola pikir yang benar bahwa setiap anak adalah istimewa dan mempunyai fitrah ilahiyah. Bahkan John Locke dalam teorinya “Tabula Rasa” mengatakan bahwa setiap anak lahir kedunia ini ibarat sebagai kertas putih yang bersih.[2] Oleh sebab itu, tergantung bagi kita (guru) akan membuat coretan-coretan seperti apa di atas kertas putih itu,  yang pasti adalah anak usia dini masih suci dan terbebas dari dosa. Fitrah Ilahiah mereka masih aktif bekerja serta belum ternodai oleh perilaku-perilaku dosa. Maka dari itu, peran dan tanggungjawab seorang guru menjadi kunci utama setelah orang tua, dalam membangun paradigma positif yang diimplementasikan melalui manajemen kelas yang efektif serta berorientasi dalam pembentukan karakter-karakter (akhlak) sesuai nilai-nilai ajaran Islam.

Seringkali kita mendengar tentang keluhan-keluhan guru atas kenakalan anak-anak didik mereka ketika berada di kelas. Sampai-sampai, guru tidak mampu menahan diri lagi dan puncaknya berakhir dengan tragedi yang dimulai dengan luapan emosi berupa kemarahan, bentakan-bentakan, ancaman-ancaman bahkan tak jarang kearah kekerasan dan hukuman fisik seperti, di jemur di halaman sekolah, di suruh lari keliling lapangan, di jewer telinganya, di cubit, di pukul dengan penggaris dan lain sebagainnya. Tragedy-tragedi itu dapat terjadi pada kedua belah pihak, terutama pada sekolah-sekolah lanjutan (SD, SMP, dan SMA) terkadang anak sebagai korban namun tak jarang guru juga menjadi korban, bahkan kenakalan anak seakan tidak terbendung lagi. Untuk itu, ada tiga ranah yang dapat dianalisis sebagai bagian dari titik balik munculnya berbagai paradigm, problematika dan kekerasan anak di lingkungan sekolah yaitu: profesionalisme dan kompetensi Guru, sistem nilai tradisional dan dominasi Media Sosial.

 

B.       PEMBAHASAN

1.      Profesionalisme dan Kompetensi Guru

Tidak bisa dipungkiri bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, terlebih jika dibandingkan dengan mutu pendidikan di Negara lain terutama ASEAN.  Data yang dilansir oleh Programme for Internasional Student Assesment (PISA) tahun 2018 pendidikan di Indonesia berada pada posisi ke-lima se-ASEAN masih di bawah Thailand yang menduduki posisi ke-empat.[3] Posisi ini cukup jauh apabila dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan pertama.

Salah satu barometer rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat dilihat dari perspektif makro yang disebabkan oleh buruknya sistem pendidikan nasional serta rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, pada tahun 2019 menempati peringkat 87 dari 157 Negara di dunia. Bahkan menurut Bambang Brodjonegoro selaku Kepala Bappenas mengatakan bahwa Indeks Modal Manusia atau Human Capital Indeks (HCI) Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Tak hanya tertinggal dari negara-negara maju, namun Indonesia masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN, seperti Vietnam.[4]

Apabila ditelaah lebih mendalam, rendahnya SDM Indonesia berdasarkan HCI tersebut diakibatkan oleh rendahnya mutu pendidikan pada berbagai jenis dan jenjnag pendidikan yang ada, sehingga hal ini harus harus menjadi perhatian serius pemerintah sebagai kebijakan pokok pembangunan pendidikan nasional yang berorientasi pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, serta perluasan dan pemerataan pendidikan dan akuntabiltas harus menjadi prioritas kebijakan pembangunan pendidikan nasional.[5]

           Pada sekala makro, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan di Indonesia diantaranya faktor kebijakan pendidikan, faktor kurikulum, fasilitas pendidikan dan sebagainya. Sedangkan pada sekala mikro, faktor dominan yang sangat berpengaruh dan berkontribusi besar terhadap mutu pendidikan adalah profesionalisme dan kompetensi guru. Oleh sebab itu, guru sebagai profesi harus professional dalam melaksanakan berbagai tugas pendidikan, pengajaran, pelatihan dan pembimbingan yang diamanahkan kepadanya, yang mana profesi guru mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta tepat guna.[6]

           Guru sebagai tenaga profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki pengalaman mengajar pada kelas-kelas besar,[7] memiliki keterampilan manajemen sekolah, dan sebagai pengembang budaya belajar siswa. Selain itu, guru yang professional harus memiliki wawasan pengetahuan dan pengalaman tentang Sistem Informasi Manajemen yang seringkali dikenal dengan istilah SIM. Karena pada dasarnya guru adalah penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya, serta menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan.[8]

           Maka daripada itu, sebagai tenaga professional, terdapat beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang guru, diantaranya adalah;  pertama, seorang guru harus memiliki komitmen terhadap siswa dan prosesa belajarnya. Kedua, seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang diampu, serta cara mengajarkannya pada siswa. Ketiga, seorang guru harus memiliki tanggungjawab, serta memantau hasil belajar siswa dengan berbagai cara evaluasi. Keempat, seorang guru harus mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari lingkungan profesinya.[9]

           Sementara itu, profesionalisme guru apabila dilihat dari kacamata Islam adalah profesi atau pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu, yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT., sebagaimana firman-Nya “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.[10] Islam melihat bahwa segala jenis profesi atau pekerjaan (termasuk di dalamnya guru) harus dilakukan secara profesional.[11] Karena dalam Islam seorang guru membawa dua misi sekaligus, yakni misi agama dan misi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, seorang guru profesional menurut Muhlison harus memiliki sejumlah kriteria diantaranya; bertaqwa kepada Allah, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, memiliki tujuan yang Rabbani, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan, serta menguasai bidang ilmu yang ditekuni.[12]

           Selain harus profesional, seorang guru juga harus memiliki kompetensi. Karena pada dasarnya tidak ada guru yang tidak mampu mengajar. Namun, peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menuntut guru agar setidaknya memiliki empat kompetensi sebagai modal dalam menjalankan profesinya sebagai guru, diantaranya; kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi, profesionalisme, dan kompetensi sosial.[13] Dengan memiliki kompetensi diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan pada skala institusi, regional maupun nasional.

           Hanya saja, patut untuk diketahui bahwa sekolah di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni sekolah Negeri dan sekolah Swasta yang dikelola oleh masyarakat. Perlu disadari bahwa selama ini gaji guru menduduku pos pengeluaran terbesar sekolah, baik negeri maupun swasta, yang membedakan adalah sumber dana yang diperoleh masing-masing sekolah. Meskipun sekolah swasta saat ini mendapat kucuran dana pemerintah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), terdapat aturan-aturan yang ketat dalam penggunaannya, termasuk penggunaan untuk membayar gaji guru. Sehingga menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap penghasilan guru swasta dan guru negeri. Namun, perbedaan pendapatan yang diperoleh tidak menghalangi lembaga-lembaga swasta (sekolah) untuk bersaing dengan lembaga negeri.[14]

           Beranjak dari persoalan tersebut, kompetensi pedagogi adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran anak didik dengan memenuhi kaidah-kaidah pedagogi, diantaramya pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan anak didik untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Adapun kompetensi pedagogi yag harus dimiliki guru secara lebih terperinci diuraikan sebagai berikut:

a.         Memahami karakteristik anak didik dari berbagai aspeknya, seperti aspek fisik, sosial, kultural, emosional, moral, dan intelektual serta aspek spiritual.

b.        Memahami karakteristik anak didik dengan melihat kelaian fisik, sosial-emosional, dan intelektual yang membutuhkan penanganan khusus.

c.         Memahami latar belakang keluarga dan masyarakat untuk menetapkan kebutuhan belajar anak didik dalam konteks budaya yang beragam.

d.        Memahami gaya belajar dan kesulitan belajar anak didik.

e.         Memfasilitiasi dan mampu mengambangkan potensi anak didik.

f.         Menguasai teori dan prinsip-prinsip dasar belajar-mengajar yang mendidik.

g.        Mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan anak didik dalam proses pembelajaran.

h.        Merancang aktivitas belajar-mengajar yang mendidik.

i.          Melaksanakan aktivitas belajar-mengajar yang mendidik.

j.          Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran yang mengacu pada tujuan utuh pendidikan.[15]

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi anak didik.[16] Sementara menurut Djam’an Satori, kompetensi kepribadian merupakan suatu kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru agar memiliki nilai-nilai luhur yang tercermin dalam perilakunya sehari-hari.[17] Apabila dijabarkan lebih terperinci maka kompetensi kepribadian seorang guru meliputi;

a.         Menampilkan dan memposisikan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, bijaksana, dan berwibawa.

b.        Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi anak didiknya dan masyarakat.

c.         Mengevaluasi kinerja sendiri.

d.        Mengembangkan diri secara berkelanjutan.[18]

Kompetensi Profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara lebih luas dan mendalam sehingga guru dapat membimbing dan mengarahkan anak didik agar dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Tafsir, kompetensi professional merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional.[19] Kompetensi ini meliputi;

a.       Menguasai secara luas dan mendalam substansi dan metodologi dasar keilmuan.

b.      Menguasasi struktur dan materi kurikulum.

c.       Mampu mengembangkan kurikulum dan aktivitas belajar-mengajar secara kreatif dan inovatif.

d.      Menguasasi dan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dalam pembelajaran.

e.       Mengorganisasi materi kurikulum bidang studi.

f.       Menguasasi dasar-dasar materi kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung tercapainya tujuan utuh pendidikan anak didik.

g.      Mampu menilai dan memperbaiki pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas.[20]

Kompetensi Sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi secara efektif baik verbal maupun non verbal (tulisan), dengan menggunakanteknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan anak didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali anak didik, dan masyarakat sekitar dengan santun.[21] Kompetensi ini meliputi;

a.       Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan anak didik, orang tua anak didik, sesame rekan pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat.

b.      Berkonstribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat.

c.       Berkonstribusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional, dan global.

d.      Memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.[22]

Maka dengan demikian, dari keempat kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru agar dapat menjadi seorang pendidik yang professional dalam kerangka proses belajar-mengajar di kelas, yang menjadi focus dan tumpuan utama dalam peningkatan profesionalisme ini adalah mutu proses dan hasil pembelajaran di sekolah yaitu kompetensi professional dan sebagai modal dalam menanamkan nilai-nilai pada anak didiknya. Hanya saja, ketiga kompetensi lainnya tetap memiliki konstribusi besar dalam mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme guru di sekolah.

2.      Sistem Nilai Tradisional dan Dominasi Media Sosial

 Dalam membangun karakteristik anak didik saat ini, nilai-nilai dasar sangat diperlukan untuk menentukan sikap dan tindakan apa yang dianggap baik dan tidak baik yang akan dijadikan model perilaku anak didik selanjutnya. Dewasa ini system nilai tradisional yang berjalan mulai tergantikan dengan system nilai modern sehingga system yang menjadi rujukan bukan lagi tatanan nilai yang berkiblat pada tradisi, maupun agama akan tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda.[23]

Corak perilaku yang dihadirkan dan diproyeksikan oleh Media Sosial menjadi model dari realitas sosial yang cenderung diikuti akibat anak didik kita mengalami general hysteria (demam umum) yang seringkali melanda masyarakat modern. Tradisi dan model perilaku sosial yang tercermin dalam Media Sosial (Medsos) menjadi komoditi yang sangat mempengaruhi perilaku anak didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan Media Sosial sangat membantu memberikan kemudahan bagi penggunanya. Dengan berbagai fasilitas dan fitur yang disediakan oleh Media Sosial tersebut dapat memudahkan penggunanya untuk melakukan segala aktifitas mulai bermain game online maupun offline, interaksi sosial, sekedar hiburan, bahkan untuk kegiatan bisnis. Beragam informasi dan hiburan terpampang luas dari berbagai daerah dan belahan dunia lain. Hal ini tentu turut membawa pengaruh pada penggunanya, terutama pada anak-anak usia sekolah yang membawa pada perubahan perilaku yang diadopsi dari Media Sosial tersebut. Kecenderuangan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga faktor yang saling terkait.

Pertama, adanya proses transformasi tradisional ke modern dengan nilai-nilai dan hubungan sosial yang mulai berubah. Intensitas interaksi fisik manusia makin hari makin berkurang intensitasnya, karena tergantikan dengan interaksi di Dunia Maya. Sehingga hubungan emosional melalui interaksi fisik antara manusia telah tergantikan dengan kehadiran Media Sosial. Oleh sebab itu, anak bukan lagi mejadi pewaris tradisi dari orang tua dan lingkungan sosialnya, melainkan telah berubah menjadi wakil dari sebuah tradisi yang jauh lebih besar. Tayangan Media Sosial kekinian, yang diperlihatkan kaum milenial yang seringkali merujuk pada tindakan kekerasan fisik, seksual, bullying (kekerasan emosional), dan sebagainya telah menjadi bagian dari anak didik kita. Sehinggga tak jarang memunculkan berbagai tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah yang menurut KPAI mengalami peningkatan.[24] Hal ini membuktikan bahwa, titik orientasi bukan lagi pada orang tua dan guru, melainkan ada pada Media Sosial yang merupakan bagian dari pusat-pusat kekuasaan baru yang mengendalikan system sosial dan moralitas.

Kedua, adanya perubahan tata nilai yang berkembang di masyarakat dimana kehidupan bukan lagi sekedar melanjutkan naluri masa lalu, akan tetapi telah menjadi arena pertaruhan negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, melainkan telah mengglobal. Benturan tranformasi ini telah membawa pada proses negosiasi berdasarkan kepentingan. Namun, nampaknya kekuatan pasar menjadi kekuatan yang dominan karena dukungan Media Sosial, yang telah bertranformasi menjadi kekuatan besar yang mengubah perilaku manusia dewasa ini. Didalam hegemoni kekuasaan semacam ini, kompetensi guru dipertaruhkan. Dimana guru yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi informatika, akan terpinggirkan dengan sendirinya. Selain itu guru akan kesulitan di dalam melakukan kontrol sosial pada anak didiknya. Karena kecenderungan kontrol sosial ada pada Media Sosial.

Ketiga, kecenderungan lain terjadi karena melemahnya peran guru dan orang tua sebagai penjaga dan pewaris sistem nilai di masyarakat. Peran ini tergeser dengan semakin masifnya keberadaan Media Sosial yang turut melunturkan pola-pola tradisi yang diwarikan turun temurun di masyarakat. Bahkan tak jarang justru guru dan orang tua menjadi penpanjangan dari keberadaan Media Sosial ini dengan membiarkan anak malalui kontrol sosial dari mereka. Akibatnya apa yang diperoleh anak dari Media Sosial dijadikan sebagi model untuk melakukan tindakan-tindakan di dalam berinteraksi di sekolah, maaupun dimasyarakat.

Maka dari itu, maraknya situs-situs dalam Media Sosial yang membuat konten negatif, sedikit banyak telah membawa perubahan perilaku pada anak didik, salah satunya adalah runtuhnya nilai-nilai moralitas dan akhlak dikalangan mereka. Persoalan penting yang harus menjadi perhatian kita semua adalah kecenderungan anak dalam proses pembelajarannya yang cenderung meniru segala hal yang mereka lihat dan menarik menurut mereka. Tanpa memikirkan apakah hal itu sesuai atau tidak dengan budaya dan tradisi mereka.

Sebuah surve yang dilakukan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise pada tahun 2018 memperoleh hasil yang mengejutkan. Dari hasil surve itu, mayoritas kenakalan anak dilakukan oleh teman sebaya. Ditemukan fakta kekerasan terhadap anak di antaranya kekerasan seksual, kekerasan fisik, bahkan kekerasan emosional (bullying). Setidaknya tiga dari empat anak yang pernah mengalami kekerasan pelakunya adalah teman sebaya mereka sendiri.[25] Dari data tersebut, kita dapat melihat bahwa potensi zaman berupa pengaruh Media Sosial lebih besar untuk anak didik kita sekarang. Dengan demikian, sudah sepantasnya seorang guru membantu anak-anak didiknya menghadapi zaman yang semakin tidak menentu. Kerjasama orang tua dan guru akan menjadi kekuatan dahsyat untuk membantu anak didik kita melewati kerasnya kehidupan di zaman ini.

Media Sosial tak jarang menjadi lingkungan yang buruk bagi anak-anak didik kita, yang saat ini sudah menembus batas-batas ruang sosial kita, dan masuk kerumah-rumah kita, bahkan masuk pada tempat yang paling privasi sekalipun, seperti kamar mandi atau toilet. Di sana anak dapat dengan leluasa melakukan browsing, chating, bahkan bermain tik tok, dan you tube. Terbayang bagaimana potensi dari lingkungan yang buruk yang sudah sangat menembus batas-batas ruang kehidupan kita. Apabila kita hitung, anak akan lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan Media Sosial. Artinya kita harus membekali anak didik kita dengan beragam senjata (agama dan tradisi) agar mampu melawan lingkungan buruk mereka tersebut, salah satunya adalah penanaman nilai-nilai tradisi dan moralitas, serta spiritualitas pada anak yang hanya dapat diwujudkan manakala ada kerjasama yang baik antara guru dan orang tua.

Model pendidikan dewasa ini, mengharuskan guru menguasai konsep dasar pendidikan, yakni pengajaran dan kepemimpinan. Guru diharuskan dapat mempraktikkan konsep pedagogi yang efektif dan efisien gar tujuan pendidikan dapat tercapai. Hanya saja tak dapat dipungkiri adalah kondisi tiap zaman pendidikan berbeda-beda. Jika dulu pembelajaran berpusat pada guru, maka di zaman sekarang justru pembelajaran berpusat ada anak didik. Oleh sebab itu, seorang guru harus terus belajar untuk meningkatkan kompetensi dirinya. Terlebih pada zaman sekarang, anak didik kita memungkinkan mendapatkan berbagai informasi dengan mudah dari berbagai sumber. Akibatnya, anak didik kita cenderung menjadi lebih cerdas dan kritis. Hal ini menjadi contoh kecil bagi guru, mengapa guru harus terus belajar. Karena kalau tidak, bisa jadi anak didik kita lebih cerdas dari gurunya.

 

C.      KESIMPULAN

Masa keemasan anak (golden age) berada pada kisaran 0 – 6 tahun, adalah masa yang tidak akan pernah terulang kembali. Pada fase ini diperlukan perhatian yang besar dari guru dan orang tua, karena pada masa ini fondasi anak baru terbentuk. Jika guru dan orang tua gagal memberikan stimulus yang tepat pada masa ini, maka ibarat sebuah bangunan dengan fondasi yang rapuh maka akan mudah runtuh. Terlebih peran guru dan orang tua seringkali tergantikan oleh peran Media Sosial yang begitu besar, yang menembus batas-batas ruang sosial anak sampai pada yang paling privasi sekalipun. Untuk itu, guru dan orang tua harus bekerjasama sebaik mungkin agar anak tetap berada pada bingkai moralitas, akhlak dan spiritualitas yang nantinya anak akan menjadi agen pewaris tradisi sesuai nilai-nilai di masyarakat..

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Cet. IV

 

AM., Suhar. 2009. Filsafat Umum: Konsep Sejarah dan Aliran. Jakarta: Gaung Persada Press

 

Chatib, Munif. 2012. Orang Tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Seorang Setiap Anak. Bandung: Kaifa

 

Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an  dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit J-ART

 

Djam’an Satori dkk,. 2010. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka

 

Hadis, Abdul dan Nurhayati. 2010. Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta

 

Hamalik, Oemar. 2006. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. Ke-4

 

Hasan, H. 2003. Guru yang Profesional. Bandung: UPI

 

Kunandar, 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Mengahadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1.

 

Muhlison. 2014. ”Guru Profesional: Sebuah Karakteristik Guru Ideal dalam Pendidikan Islam”, Darul Ilmi:Jurnal Kependidikan dan Keislaman, Vol. 02. No. 02

 

Mulyasa, E. 2001. Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosda Karya

 

Mushaf, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru. Jakarta: Kencana

 

Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya

 

Zainuddin, Zainuddin. 2019. “Kiai dan Politik Lokal: Implikasi dan Masa Depan Lembaga Pendidikan Islam di sumatera Selatan”. Brilliant: Jurnal Riset dan Konseptual  4.3

 

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003

 

Nana, Dede. “Kualitas Pendidikan Indonesia Peringkat 5 ASEAN” dalam https://malangtimes.com/06 Desember 2019/diakses 23 April 2020

Nurita, Dewi. “Hari Anak Nasional, KPAI Catat Kasus Bullying Paling Banyak” dalam https://nasional.tempo.com/23 Juli 2018/ diakses 20 April 2020.

 

Olivia Victoria, Agatha. “Bappenas: Kualitas SDM Indonesia Masih Ketinggalan Jauh dari Vietnam” dalam https://katadata.co.id/14 Agustus 2019/diakses 05 April 2020

 

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Sri Rahayu, Lisye. “Rilis Surve, Menteri Yohana: Mayoritas Pelaku Kekerasan Anak Teman Sebaya” dalam https://m.detik.com/ 07 Mei 2019/ diakses 20 April 2020.

 

 

 



[1] Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Seorang Setiap Anak (andung: Kaifa, 2012) hal. 13

[2] Suhar, AM., Filsafat Umum: Konsep Sejarah dan Aliran (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hal. 149

[3] Dede Nana, “Kualitas Pendidikan Indonesia Peringkat 5 ASEAN” dalam https://malangtimes.com/06 Desember 2019/diakses 23 April 2020

[4] Agatha Olivia Victoria, “Bappenas: Kualitas SDM Indonesia Masih Ketinggalan Jauh dari Vietnam” dalam https://katadata.co.id/14 Agustus 2019/diakses 05 April 2020

[5] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003

[6] Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Mengahadapi Sertifikasi Guru (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, hal. 46

[7] Oemar hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-4, hal. 27

[8] Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 5

[9] H. Hasan, Guru yang Profesional (Bandung: UPI, 2003), hal. 5

[10] Al-Qur’an  Surat an Najm (53) ayat 39

[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 113

[12] Muhlison,”Guru Profesional: Sebuah Karakteristik Guru Ideal dalam Pendidikan Islam”, Darul Ilmi:Jurnal Kependidikan dan Keislaman, Vol. 02. No. 02 ( Juli 2014), hal. 46-60.

[13] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

[14] Zainuddin, Zainuddin “Kiai dan Politik Lokal: Implikasi dan Masa Depan Lembaga Pendidikan Islam di sumatera Selatan”. Brilliant: Jurnal Riset dan Konseptual  4.3 (2019), hal. 331-340

[15] Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia…, hal. 28. Lihat juga, Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu…, hal. 22-27.

[16] E. Mulyasa, Standar Kompetensi Guru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 117

[17] Djam’an Satori dkk, Profesi Keguruan (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hal. 25

[18] Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu…, hal. 27-28

[19] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hal.107

[20] Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia…, hal. 29. Lihat juga, Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu…, hal. 30-31

[21] Jejen Mushaf, Peningkatan Kompetensi Guru (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 27

[22] Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu…, hal. 29-30.

[23] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2010), Cet. IV, hal. 58.

[24] Dewi Nurita, “Hari Anak Nasional, KPAI Catat Kasus Bullying Paling Banyak” dalam https://nasional.tempo.com/23 Juli 2018/ diakses 20 April 2019.

[25] Lisye Sri Rahayu, “Rilis Surve, Menteri Yohana: Mayoritas Pelaku Kekerasan Anak Teman Sebaya” dalam https://m.detik.com/ 07 Mei 2019/ diakses 20 April 2020